Jumat, 04 April 2014


Kehidupannya adalah kehidupan ilmu,pendidikan dan dakwah di jalan Allah. Beliaulah pendiri madrasah Alkhairaat di kepulauan Timur Indonesia. Keturunan beliau adalah ad-da’I (pendakwah) atau juru dakwah. Nama lengkapnya adalah As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.
Kelahirannya hari Senin Sya’ban 1309 H di Taris Hadramaut, sebelah selatan Yaman. Beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i.
Ayahnya Habib Salim seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya. Kakeknya Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed Abdurrahman Almasyhur. Kakeknya yang kedua Al-Habib Saqqaf diantara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut.
Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya Al-Allamah Salim bin Alwy Aljufri termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimbah ilmu dari sumber yang murni, maka jadilah beliau pakar dalam ilmu-ilmu agama dan bahasa, sehingga beliau dilantik menjadi Qadhi dan Mufti di Taris negerinya menggantikan ayahnya
Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Dan perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan konco-konconya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan konco-konconya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.
Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk merubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Maka tugas politik yang sangat berbahaya itu di serahkan kepada Habib Idrus. Beliau memutuskan untuk keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir dengan tujuan untuk menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan. Beliau mengetahui bahwa perbuatannya itu membahayakan jiwanya karena inteligen Negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya, akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan.
Setelah segala perlengkapan dan rancangan disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut hampir membuahkan hasil, jika tidak disebabkan oleh penghianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi membocorkan rahasianya. Setelah beliau sampai di bandara Aden, tiba-tiba beliau di tangkap kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintah Inggris untuk tidak keluar dari bandara Aden dengan tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia.
Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Sy. Aminah binti Thalib Aljufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Kemudian beliau meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo, beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana. Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah hingga sampailah beliau di Palu yang kala itu bernama “Celebes” pada masa penjajahan Belanda.
Setelah beliau masuk di negeri tersebut terlihat olehnya gerakan misionaris Kristen yang mendapat tempat dan pengikut yang banyak dari penduduk muslim yang awam. Karena kurang hidupnya dakwah islamiyah di negeri itu bahkan hampir tidak terdapat da’i Islam yang mengimbangi gerakan misionaris yang menentang Islam. Beliau memikul tanggung jawab ini dan masuk melaksanakan dakwah, menentang musuh-musuh, karena semangat Islam dan tanggungjawabnya yang pertama sebagai seorang muslim dan kedua sebagai seorang yang alim.
Al-Ustadz berpendapat bahwa sebaik-baik cara untuk menentang gerakan misionaris adalah sesuai dengan firman Allah : (“serulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan peringatan yang baik serta berdialog (berdebatlah) dengan cara yang baik”) dan juga dari sabda Nabi SAW : (“Mudahkanlah dan jangan menyusahkan, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti”). Dengan demikian cara penyebaran ilmu dan budaya Islam haruslah dengan jalan yang mudah dan cara yang bijak melalui pembukaan sekolah dan majlis Ta’lim untuk menghimpun anak-anak Islam.
Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu yang sekarang menjadi Ibukota Sulteng salah satu wilayah yang terletak di Timur Indonesia, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali di sebut dalam Al-Qur’an dan secara resmi madrasah tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930. dan pada peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri.
Ustadz telah memertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan parahu sampan dengan bermacam resiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Ustadz yang dirahmati Allah
selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Beliau tabah dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.
Akhir kata, semua perjuangan beliau terus dilakukannya hingga akhir hayat dengan tetap mengajar dan berdakwah di jalan Allah, walaupun harus mengorbankan semua yang berharga yang ada pada dirinya. Beliau berpulang pada 12 Syawal 1389 H bertepatan dengan tahun 1969 M, setelah beliau berikan bagi umat Islam suatu pelayanan demi pembelaannya terhadap Islam. Maka berhembuslah rohnya yang suci dan seolah-olah berkata :”79 tahun aku berjuang semasa hidupku dengan memuji Allah aku telah beramal. Lihatlah madrasah-madrasah yang ada di seluruh penjuru negeri menjadi saksi bahwasannya ucapan dan perbuatanku tidaklah sia-sia.
(sumber: sejarahri.com)

0 komentar:

Posting Komentar