Minggu, 06 April 2014



Pemikiran politik merupakan bagian dari ilmu politik yang mengkhususkan diri dalam penyelidikan tentang pemikiran – pemikiran  yang terdapat dalam bidang politik, sejak dari dahulu kala di masa Yunani Kuno sampai ke masa sekarang. Dalam pengertian lain juga disebutkan bahwa, pemikiran politik adalah suatu bagian ilmu pengetahuan politik dimana nilai, moral, norma, dan etika selalu menjadi pokok pembahasan yang tidak pernah absen. Kareana itu, mengesampingkan pemikiran politik berarti mengesampingkan suatu unsur yang sangat agung dalam studi politik. 

Pemikiran politik sangat erat hubungannya dengan sejarah, filsafat politik, dan juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan etika, moralitas, dan idealisme politik pada umumnya. Pemikiran politik sering disebut dengan political theory.  

Van Dyke juga berpendapat bahwa ada dua pengertian yang dimaksud dengan teori itu. Pertaman, Teori itu berkenaan dengan system keyakinan politik secara umum dan menyeluruh, sehingga dapat dinamakan dasar pendapat atau ideology. Kedua, Berkenaan dengan filsafat politik, yaitu pemikiran tentang pemikiran politik. 

Pemikiran politik selalu berkembang dan berubah sesuai dengan waktu dan tempat dimana setiap tempat juga memiliki perbedaan dan ciri tersendiri. Hal ini karena jiwa yang dimiliki seorang pemimpin dipengaruhi oleh masa kecil, budaya, adat-istiadat, pendidikan, agama, lingkungan, nilai, suku bangsa dll. Untuk itu mempelajari pemikiran politik sangat menarik, karena adanya banyak pemikiran yang berbeda tapi juga menakjubkan.

Dalam mata kuliah ini, terkhusus membahas tentang Pemikiran Politik di Indonesia, sehinggah yang menjadi pokok kajian adalah sejarah bangsa ini berikut dengan para pemikir-pemikir dan pejuang kemerdekaan. Diantara para the founding fathers dan kawan-kawannya Dan diantara para tokoh pergerakan itu, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah Pemikiran Politik H.O.S Tjokroaminoto. Beliau merupakan tokoh pergerakan yang agamais, nasionalis, dan sosialis. Beliau memiliki idealisme untuk memerdekakan indonesia yang saat itu teracuni oleh politik pecah bela Belanda, sehingga kepentingan golongan lebih ditinggikan dibandingkan kepentingan umum. Ini bukanlah Tjokroisme melainkan beliau hanya meneruskan pemahamannya berdasarkan nilai-nilai islam kepada masyarakat Indonesia.

Disini akan dijelaskan bagaimana kehidupan beliau serta beberapa pencapaian yang pantas diacungi jempol. Beliau adalah bapak “Pergerakan Nasional” karena keberaniannya beliaulah yang mengawali pergerakan melawan pemerintahan belanda.

A. Definisi Politik

Definisi Atau Pengertian Politik Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.

 Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan.

B. Nasionalisme

Secara etimologis kata nasionalisme atau nation atau natie diambil melalui bahasa Prancis dari bahasa Latin natio yang berakar dalam nasci yang juga baru muncul, dan dalam kosakata Klasik cenderung bermakna jelek untuk ras, suku, atau ’bibit’ manusia yang dianggap tidak beradab oleh standar Romawi. Dalam berbagai bahasa Romawi yang mewariskan kata nation sebagai bagian dari pendudukan, atau bahasa non Latin yang kemudian mengadopsinya karena pengaruh Renaisans, kata nation telah mengalami sejumlah pergeseran semantik sebelum digunakan untuk menunjukkan kesatuan budaya dan kedaulatan politik tertentu yang mencakup suatu masyarakat. 

Menurut  Rupert  Emerson  nasionalisme  adalah  komunitas  orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.

Sementara  menurut  Ernest  Renan,  yang  sering  dikutip  Soekarno, nasionalisme merupakan unsur  yang  dominan dalam kehidupan sosial-politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa atau nation guna menyatukan kehendak untuk bersatu.

C. Sosialisme

Istilah sosialisme selalu diidentikkan dengan seorang Karl Marx. Padahal cita-cita sosialisme udah dicetuskan  jauh  sebelum  Marx  mulai  memikirkan revolusi  proletariat.  Banyak  dari  gagasan-gagasan  yang  akan  menjadi  pokok pemikirannya diperolehnya dari tulisan para pemikir sosialis sebelumnya. Cita- cita yang sekarang disebut sosialisme itu sudah ditemukan dalam budaya Yunani kuno. Kasta para filosof yang menurut Plato harus memimpin negara tidak boleh mempunyai milik pribadi dan tidak berkeluarga, memiliki segalanya bersama, dan hidup menurut aturan yang sama. Namun sosialisme ini terbatas pada kasta calon pemimpin.

Kata ’sosialisme’ sendiri muncul di Prancis sekitar tahun 1830, begitu juga kata ’komunisme’. Dua kata ini semula sama artinya, tetapi segera ’komunisme’ dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, yang menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu  bukan  dari  kebaikan  pemerintah,  melainkan  semata-mata  dari  perjuangan kaum terhisap sendiri. 

Sementara itu untuk membedakan ajarannya dari gagasan-gagasan Sosialis Utopis,  Marx  menamakan  ajarannya  Sosialisme  Ilmiah  (scientific  socialism). Untuk keperluan itu ia menyusun suatu teori sosial yang menurut dia didasari hukum-hukum ilmiah dan karena itu pasti akan terlaksana. Saintisme Marx mempunyai keyakinan bahwa terdapat ’hukum-hukum gerak’ dalam masyarakat yang  dijalankan  dengan  prinsip ’kebutuhan  yang  mutlak’  didasarkan  pada penjelasan yang naif dari kemajuan-kemajuan ilmu alam.
 
Klaimnya atas keilmiahan sosialismenya ini sangat penting dalam memahami teorinya. Marx menolak pendasaran sosialisme pada pertimbangan- pertimbangan moral. Sosialisme tidak akan datang karena dinilai baik atau karena kapitalisme dinilai jahat, melainkan karena, dan kalau, syarat-syarat objektif penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi terpenuhi. Dengan kata lain, Marx mengklaim bahwa sosialismenya bersifat ilmiah karena sosialisme tersebut berdasarkan pengetahuan tentang hukum - hukum objektif perkembangan masyarakat. Pengetahuan itulah yang disebut ’Pandangan Materialis Sejarah.

Dalam menyusun teori mengenai perkembangan masyarakat, Marx sangat tertarik oleh gagasan filsuf Jerman George Hegel mengenai dialektika karena di dalamnya terdapat unsur kemajuan melalui konflik dan pertentangan. Dan unsur inillah yang dia perlukan menyusun teorinya mengenai perkembangan masyarakat melalui revolusi. Untuk melandasi teori sosial, maka dia merumuskan terlebih dahulu teori mengenai materialisme dialektik (dialectical materialism). Kemudian konsep-konsep itu dipakainya untuk menganalisa sejarah perkembangan masyarakat yang dinamakannya materialisme historis (historical materialism). Dan karena materi oleh Marx diartikan sebagai keadaan ekonomi, maka teori marx juga sering disebut ’analisa ekonomis terhadap sejarah’. Dalam menjelaskan teorinya Marx menekankan bahwa sejarah (yang dimaksud hanyalah sejarah Barat) menunjukkan bahwa masyarakat zaman lampau telah berkembang menurut hukum-hukum dialektis yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas sampai menjadi masyarakat dimana Marx berada. Atas dasar analisa terakhir ia sampai pada kesimpulan bahwa menurut hukum ilmiah dunia kapitalis akan mengalami revolusi -yang disebutnya revolusi proletariat- yang akan menghancurkan sendi- sendi masyarakat kapitalis tersebut, dan akan meratakan jalan untuk timbulnya masyarakat komunis.

A. Perjalanan Hidup Tjokroaminoto

Biografi HOS Tjokroaminoto

Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto yang dikenal sebagai Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto lahir di ponorogo, 16 Agustus 1883. Terlahir dari perpaduan keluarga priyayi yang religious. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro adalah seorang bupati di ponorogo, jawa timur, sedangkan ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno adalah wedana distrik kleco, madiun. Ia secara formal tak pernah nyantri, sekolah ditempuhnya dengan system pendidikan barat. Karena itu, ia menguasai bahasa inggris dan belanda.Didalam ensiklopedi islam disebutkan bahwasannya HOS Tjokroaminoto lahir di Bukur, Madiun 16 Agustus 1882 Yogyakarta.
Pendidikan HOS Tjokroaminoto

Pendidikan dasarnya ditempuh di madiun, disekolah belanda. Kemudian pendidikan lanjutnya ia tempuh di OSVIA (opleiding school voor inlandsche ambtenaren “sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi”) di magelang (1902). Di OSVIA, lama pendidikan adalah 5 tahun dan bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda. Sekolah ini tidak saja terbuka bagi anak-anak golongan priyai, tetapi terbuka juga bagi anak-anak golongan biasa yang ingin memasuki dinas pengreh praja.

Setelah lulus dari OSVIA, Pada tahun 1902 sampai 1905 Tjokroaminoto menjadi juru tulis patih di ngawi (jawa timur), kemudian menjadi patih (pejabat dalam lingkungan pegawai negara pribumi), pembantu utama pada seorang bupati (regent). Pada bulan september 1905 ia minta berhenti dari jabatan. Alasannya, karena ia merasa tidak puas dalam kehidupan kepegawaian, tidak banyak menggembirakan hati dan terus-menerus berjongkok dan menyembah. tak lama setelah ia menikah dengan Suharsikin, putri dari patih ponorogo. Lalu ia pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Sambil bekerja, Tjokroaminoto masih menyempatkan diri untuk mengikuti sekolah lanjutan di sore hari, yaitu di BAS (Burgerlijke Avond School). Selain sebagai pegawai swasta, dirumahnya juga tjokro menerima kos-kosan yang dikelola oleh istrinya. Diantara anak kosnya adalah soekarno/bung karno, yang merupakan presiden pertama RI, ketika ia duduk di HBS Surabaya. Belakangan, soekarna adalah salah satu kader di bidang politik, dan pernah menjadi menantunya. Di mana Netty Utari, anak Tjokro adalah merupakan istri pertama dari bung karno. Tepatnya Tahun 1916 pemuda soekarno menjadi salah seorang anak indekosnya.

Sesudah menyelesaikan pendidikannya, HOS tjokroaminoto mendapat pekerjaan pada sebuah pabrik gula (1907-1912) dan menulis di harian bintang surabaya. Di pabrik gula ini ia mula-mula magang sebagai masinis dan kemudian diangkat sebagai ahli kimia. Namun pekerjaannya ditekuni hanya sampai bulan mei 1912, selanjutnya ia bekerja pada sebuah biro teknik disurabaya.

Bergabungnya HOS Tjokroaminoto pada organisasi sarekat islam. Dan peranan dia dalam menangani Sarekat Islam

Suatu keanehan sebenarnya bahwa tokoh kita ini berkenalan dan masuk ke dalam Sarekat Islam bukan didorong oleh keyakinan yang diharapkan dari seorang pejuang, melainkan lebih terletak pada soal kebetulan. Waktu Sarekat Islam (SI) didirikan (dengan nama Sarekat Dagang Islam [SDI]) pada tahun 1911 di surakarta, pimpinan berada ditangan K H. Samanhoeddhi.

Dalam pandangan Samanhoedhi SDI (Sarekat Dagang Islam) mestilah diperlebar cakupannya, tak hanya mengurusi soal –soal dagang saja, tapi juga politik dan dakwah. Ia menyadari bahwa kader yang bisa membawa kearah cita-cita tersebut tidaklah banyak, belum lagi soal keberanian.

Maka dicarilah orang yang berani dan punya visi kedepan. Para pencari dan pemburu bakat disebar, telinga dipasang, informasi di gali. Maka mereka pun mendengar, bahwa di Surabaya ada seorang pribumi, yang dididik secara barat, namun mempunyai keberanian yang memadai. Sebagai indikasi keberaniannya itu adalah, orang tersebut berani keluar sebagai pegawai negeri, dengan alasan tak mau terus-menerus merunduk pada pemimpin belanda. Maka orang tersebut adalah Tjokroaminoto yang mempunyai mata elang, kumis melintang, bicara lantang, dan punya visi dan misi dalam perjuangan hidupnya.

Dalam periode inilah, tepatnya pada bulan mei 1912, Tjokroaminoto berhubungan dengan beberapa wakil sarekat dagang islam surakarta-solo- yang sengaja mendatanginya. Kontraknya yang masih berjalan dengan perusahaan biro teknik Surabaya ditebus oleh pimpinan SDI (haji samanhoeddhi), agar ia dapat memberikan seluruh tenaganya kepada perkumpulan yang baru itu. Ia kemudian diminta untuk menyusun anggaran dasar (statuten) sarekat dagang islam (SDI) dan duduk sebagai komisaris. Ketika itu ia dikenal dengan sikapnya yang radikal dan menentang kebiasaan-kebiasaan yang berlaku bagi anak jajahan. Ia dikenal sebagai seorang yang menuntut persamaan derajat dengan pihak mana pun juga, apakah dengan seorang belanda atau dengan seorang pejabat pemerintah. Ia berkeinginan untuk melihat sikap ini dimiliki oleh kawan sebangsanya terutama dalam berhubungan dengan orang-orang asing. Ia mempunyai keberanian untuk duduk di kursi sewaktu menemui seorang belanda atau seorang pejabat pemerintah. Ia berkata kepada atasannya tanpa menundukkan muka ke bawah. Ia duduk diatas kursi dengan meletakkan sebelah kakinya diatas kakinya yang lain. Semua ini adalah soal-soal kecil tetapi pada masa itu dianggap pantang dilakukan.

Pada tanggal 10 september 1912 Di tangan Tjokroaminoto SDI (sarekat dagang islam) mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Ia lalu mengubah haluan, menjadikan SI sebagai kumpulan umat islam yang hendak menegakkan islam sebagai agama dan mengilmui islam. Maka, para anggotanya pun tak semuanya para pedagang, tetapi dari semua unsur masyarakat. Saat itulah SI merambah ke berbagai bidang kehidupan umat, tak hanya beredar disolo dan jawa, tetapi juga melebar ke wilayah-wilayah luar jawa.

Corak Da’wah HOS Tjokroaminoto

Sebenarnya secara formal Tjokroaminoto tidak pernah nyantri, sehingga pemahaman dia tentang agama islam sangatlah kurang, berdasarkan referensi yang penulis baca dan temukan bahwasannya Tjokroaminoto secara tidak langsung belajar Islam sewaktu dia bergabung dengan Sarekat Islam. Memang Sikap atau corak yang dimiliki oleh Tjokroaminoto tentang keberaniannya tidak dapat diragukan lagi. Dan dengan bekal keberaniannya inilah dia dikagumi oleh masyarakat.

Tjokroaminoto adalah seorang demagoog yang bisa memainkan perasaan dan tingkah laku pendengarnya. Hadirin akan bergantung dibibirnya apabila mendengar ia berpidato; tanpa mike. Dan menjaga keseimbangan di antara mereka yang berselisih pendapat adalah salah satu kelihaiannya.

Dapat disimpulkan bahwasannya Tjokroaminoto sangat pandai dan lihai dalam berpidato, dan tidak kalah hebatnya tulisannya juga sangat banyak dalam berbagai buku atau artikel, salah satunya yaitu fadjar Asia, yang banyak memuat artikel-artikel Tjokroaminoto. Adapun karya monumental Tjokroaminoto yang sampai masa tahun 1950-an tidak dapat diubah adalah tafsir program asas dan program tandhim partai syarikat islam Indonesia, diterbitkan oleh badan pekerja PSII (Partai sarekat islam Indonesia) tahun 1954. Di dalamnya berisi tentang arah dan gerak perlawanan partai, antara lain:
1. bersandarkan kepada kebersihan tauhid,
2. bersandar kepada ilmu, dan
3. bersandarkan kepada siyasah (politik) yang berkaitan dengan bangsa, tumpah darah, dan menyatukan negeri-negeri berpenduduk muslim (dikenal dengan pan islamisme). 

Dalam pendahuluannya, tjokro menulis:

Pergerakan kita yang mula-mula bernama sarekat islam atau harus ditulis syarikat islam, kemudian diganti dengan nama partai syarekat islam india- timur pada tahun 1927, dan akhirnya pada tahun 1930 diganti lagi dengan nama partai syarekat islam Indonesia, sesungguhnya mulai menampak betul-betul sifat, maksud, dan tujuannya ialah ketika sudah ditetapkan program –asasnya (beginsel-program) yang pertama-tama dan program-pekerjaannya (program Van Actie) di dalam kongresnya pada tahun 1917 dikota Jakarta (betawi), yang kemudian program-asas dan program-pekerjaan itu diubah di dalam kongres di kota mataram (Yogyakarta) pada tahun 1920 dan akhirnya diubah lagi di dalam kongres di mataram pada tahun 1930, di mana program-asas itu ditambah dalam dan luas pahamnya, dan program-pekerjaan yang biasanya hanya berlaku buat beberapa tahun saja lamanya, diganti dengan program-tandhim (program perlawanan), yang kekuatannya hampir sama kekalnya sebagai program-asas, sedang buat selanjutnya di mana ada perlunya, pada tiap-tiap kongres hendaknya ditetapkan suatu program-pekerjaan yang harus dilakukan pada tahun berikutnya.

Pergerakan kita partai syarekat islam Indonesia yang maksudnya dikatakan dengan singkat: akan menjalankan islam dengan seluas-luas dan sepenuh-penuhnya, supaya kita bisa mendapat sesuatu dunia islam yang sejati dan bisa menurut kehidupan muslim yang sesungguh-sungguhnya, nyatalah perlu sekali mempunyai suatu program-asas dan suatu program-tandhim, yang harus menjadi dasar dan pedoman bagi segala cita-cita yang kita tuju dan bagi segala perbuatan yang kita lakukan untuk mencapai maksud itu.

Sungguh pun islam itu agama Allah dan ialah peraturan yang sempurna-purnanya yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada manusia untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat, haruslah kita ingat, bahwa manusia itulah yang membikin riwayatnya sendiri. Oleh karena itu, maka dalam usaha kita menuju kehidupan muslim yang sesungguh-sungguhnya itu haruslah mengetahui sifat dan keadaan-keadaan pergaulan hidup manusia, yang kita hidup di dalamnya sekarang ini, dan dengan sejelas-jelasnya kita harus mengetahui kecelaan-kecelaan dan kebusukan-kebusukannya, yang harus lenyap dan mesti dilenyapkan karena menjadi sebabnya tidak bisa ada kehidupan muslim yang sesungguh-sungguhnya sebagai yang kita harapkan, ataupun sedikitnya menjadi rintangan bagi usaha kita akan mencapai kehidupan muslim yang demikian itu.

Dari kutipan diatas tampak jelas apa yang dicita-citakan oleh Tjokroaminoto dengan partai yang dibesarkannya itu. Itu pula sebabnya, mengapa ia mengganti nama dari SDI menjadi partai syarikat islam Indonesia. Islam sebagai jalan hidup adalah pilihan yang terus diperjuangkan oleh Tjokroaminoto.
Dalam salah satu artikelnya yang bejudul “pemberi ingat dan penunjuk jalan kepada umat islam” yang ditulis pada tahun 1930-an, Tjokro memberi peringatan kepada umat islam secara tandas, yakni, untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka hendaklah seseorang itu melaksanakan agamanya (Islam) dan berilmu. “hanya dua perkara ini saja yang bisa menghindarkan dirimu dari kerendahan derajat dan kesengsaraan.”

Sebagai seorang aktivis yang mengilhami banyak pejuang di tanah air, Tjokroaminoto juga berkiprah dan mendorong terbentuknya organisasi-organisasi yang bersifat keilmuan. Ia, antara lain, mendorong didirikannya Indonesische Studie Club (ISC) yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada juli 1924 di Surabaya. Setahun kemudian, bersama Haji Agus Salim, membidani Jong Islamieten Bond (JIB), yang merupakan himpunan para mahasiswa dan pelajar islam agar tak lalai dengan agamanya, meskipun sekolah atau kuliah dengan cara barat. JIB inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya para cendekiawan muslim di Indonesia.

Dan mengenai bersandar kepada siyasah (politik),setelah penerbitan buku itu perkataan siyasah dipergunakan di kalangan para pejuang bangsa khususnya dan di dalam bangsa Indonesia pada umumnya. pemakaiannya bergandenagan dengan perkataan politik yang diwarisi dari bahasa belanda-yunani. Karya tulisnya yang lain di antaranya adalah islam dan sosialisme (1924), tarikh agama (1954), dan terjemahan al-qur’an ke dalam bahasa Indonesia.

Akhir Hayat HOS Tjokroaminoto

Tjokroaminoto, singa podium itu, menghadap Ilahi pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta. Dan dimakamkan di TMP Pekuncen Yogyakarta. Kepergian Tjokroaminoto membawa perpecahan di tubuh PSII. Ini menunjukkan bahwa Tjokroaminoto adalah faktor pemersatu. Semangat pan islamismenya memang telah membawanya selalu mencari titik temu, bukan titik beda. Karena kondisi social politik saat itu. Dan rupanya, Tjokroaminoto tak sempat menyiapkan kader-kadernya untuk memimpin PSII sebagaimana yang ia cita-citakan.

B. Pemikiran Politik Tjokro : Nasionalisme Berdasarkan Islam

Menurut  Tjokroaminoto  makna istilah nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya, ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi hak  untuk  mengemukakan  suaranya  dalam  masalah-masalah politik . Hal ini menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain yang  juga  memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri.

Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita- citakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam di  Hindia  (Indonesia)  dalam  rangka  mewujudkan  gagasan  besarnya,  Pan-Islamisme. Pan-Islamisme  melihat  perjuangan  umat  Islam  di  Hindia  sebagai bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan Afrika untuk menyingkirkan penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas Yunani dan Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial barat.  Namun  demikian  penekanan  utamanya  tetap  pada  ’masalah-masalah nasional dan problem-problem umat Islam di Hindia.

Tjokroaminoto  pernah  merumuskan  bahwa  untuk  menjalankan  Islam dalam  segala  aspek  kehidupan,  ”bangsa  Hindia  (Indonesia)  harus  bersandar kepada sijasah (politik) yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat Islam di lain-lain negeri (Pan Islamisme) agar dapat mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain Tjokroaminoto menganggap bahwa ”pergerakan sijasah (politik) itu suatu kewajiban yang penting bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan umat dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Upaya untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh tidak kita kaum muslimin mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan (nationale urijbeid) dan mesti berkuasa atas Negeri tumpah darah kita sendiri.”

Tjokroaminoto  melihat  kebangkitan kembali Pan-Islamisme di  negara- negara Islam yang pergerakannya semakin baik, kuat, dan terorganisir. Tjokroaminoto dengan demikian meyakini bahwa sejarah akan berulang dimana umat Islam di seluruh dunia akan bersatu menjadi suatu bangsa yang kuat dan kemudian akan mengambil alih kepemimpinannya yang dahulu untuk menginternalisasi kembali nilai-nilai Islam kepada golongan lain sehingga dapat menundukkan negeri Barat dan Timur. Arti dari gerakan Pan Islamisme ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan oleh Tjokroaminoto persatuan nasib. Islam maupun sekuler diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme. Tjokroaminoto sendiri amat menyadari adanya perbedaan karakteristik tersebut hingga menciptakan pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia. Kemajemukan ini terutama terletak pada beragamnya suku-suku yang ada di Indonesia. Dan kemajemukan ini  pula-lah yang  menjadi ’senjata’ bagi pemerintah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dengan jitu mereka menerapkan politik devide et impera lewat pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam kemajemukan suku tadi. Sehingga masing-masing suku membentuk eksklusifitasnya masing-masing dan mengedepankan ikatan primordialnya saja.

Mengenai kentalnya ikatan primordial ini juga dinyatakan Tjokroaminoto dalam suatu pidato di tahun 1915 yang menyatakan bahwa di kalangan rakyat Indonesia masih terlalu sedikit perasaan persatuan kebangsaan. Orang Madura tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa pun demikian dengan orang Sunda, dan orang Sunda demikian pula dengan orang Palembang. Namun, demi kemajuan dan kebangkitannya, di atas segala-galanya rakyat Indonesia harus berhati-hati. Sarana untuk mencapainya adalah agama Islam. Islam menghimpun semua orang karena tidak seorang pun di Hindia yang mau disebut bukan orang Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama Islam ini. Dalam istilah ’Oetoesan Hindia’, Islam adalah semen pengikat puluhan juta orang Indonesia. Islam juga sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta tanah air. 

Yang kemudian dipertegas lagi oleh beliau dalam pendapat yang disampaikannya di depan Kongres PSII XIX yang diadakan di Jakarta pada tahun 1933 yang judul pre-advisenya adalah Cultuur dan Adat Islam. Pada pidatonya tersebut Tjokroaminoto mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai meninggalkan kultur  dan adat  Islam atau  bahkan sampai menukarnya dengan kultur segelintir golongan rakyat Indonesia. Walaupun perselisihan ini belum tampak terlalu besar namun kaum muslimin tidak boleh hanya bersikap netral atau diam dalam menghadapi perselisihan antara kultur Islam dengan kultur lainnya itu karena hanya akan merugikan kultur Islam saja.

Maka seandainya umat muslim hanya diam saja dalam menghadapi perselisihan antar kultur tersebut, Tjokroaminoto mengkhawatirkan ikatan yang ada di antara umat muslim akan rusak dan menyebabkan mereka akan mudah terpecah belah satu sama lainnya ke dalam beberapa kelompok Islam dan satu sama lainnya saling membesarkan cita-cita kesukuannya masing-masing seperti ke-Maduraan, ke-Sundaan, ke-Jawaan, ke-Lampungan, ke-Minagkabauan, ke- Bugisan, ke-Ambonan, dan lainnya. Tentu hal ini merupakan bahaya laten karena amat rentan untuk disusupi politik devide et impera Belanda. Jadi akan semakin sulitlah untuk mencapai  persatuan.  Untuk  mengantisipasi  hal  tersebut  kaum muslimin wajib menciptakan kultur Islam dengan dasar-dasar yang sebenarnya dan berusaha meng-sinkronkannya dengan pemikiran dan cita-cita modern.

Namun bukan berarti hanya umat Islam saja yang dapat mempersatukan dirinya ke dalam suatu bangsa (natie). Dalam Kongres Central Sarekat  Islam (CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto mengatakan bahwa:

”Kita  cinta  bangsa  sendiri  dengan kekuatan ajaran agama kita,  agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian  besar  dari  bangsa  kita.  Kita  cinta  tanah  air,  dimana  kita dilahirkan, dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.”

Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan agamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya   umat agama lain, beradapada posisi termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah mendapatkan hak untuk ikut memerintah. Hal ini semakin menguatkan perspektif beliau bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokroaminoto percaya unsur pembeda itu adalah Islam.

Bahkan  dengan  kesadaran  yang  tinggi tentang pluralitas bangsanya sebagai realitas sosial, budaya, dan politik yang memang nyata ada di tengah- tengah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi yang berasaskan Islam namun bukan mengarah pada berdirinya sebuah Negara Teokrasi (Negara Agama). Dengan perjuangan yang berlandaskan semangat  nasionalisme  dan demokrasi, berarti mengajak  seluruh komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari cengkeraman penjajah.
Jadi  yang  berusaha  dijelaskan  oleh  beliau  adalah  bahwa  Nasionalisme Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang berdasarkan Islam.

”Islam sepertujuh bagian rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya ’eng’ nasionalisme (yang sempit) dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam. Yakni sosialisme yang menghendaki mono-humanisme (persatuan manusia) dikuasai oleh satu Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dengan lantaran  (melalui)  hukum-hukum  yang  sudah dipermaklumkan kepada Utusan-Nya Nabi penutup Muhammad SAW.”

C. Pemikiran Politik Tjokro : Sosialisme Berdasarkan Islam

Tjokroaminoto mulai mengangkat tentang sosialisme ini pada Kongres SI di Batavia pada Oktober 1917. Di Kongres tersebut Tjokroaminoto mulai mengecam kapitalisme Belanda. Ia berkata:
“Yang kita inginkan adalah sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian hingga mencapai tahap berpemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme berdosa,  CSI  tidak  akan  mentolerir dominasi  manusia  atas  manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.”

Ia menyebutnya sebagai ’kapitalisme yang berdosa’, sesuatu yang mendasari pemikiran teoritiknya ’Sosialisme Islam’. Tak dapat disangkal pertarungannya dengan kelompok komunis selam beberapa tahun telah membuatnya semakin sungguh untuk membuktikan Islam  juga sebagai ajaran yang mengadakan keberpihakan terhadap kaum tertindas (Musthadh’afin), Tjokroaminoto  mengatakan  ’de  Islam  is  de  godsdient  van de  armen  en  de verdrukten’ (Islam adalah agamanya kaum miskin dan yang tertindas).

Pada bulan Desember  1924,  Tjokroaminoto  menuangkan pemikirannya mengenai Sosialisme Islam tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Islam dan  Sosialisme.  Menurut  beliau  di  bukunya  itu  ’Sosialisme’  asalnya  dari perkataan  bahasa  Latin  socius,  yang  artinya  dalam  bahasa  Belanda:  Makker; dalam bahasa Indonesia: teman-sahabat; dalam bahasa Jawa: kanca; dan dalam bahasa Arab: asyrat atau sahabat. Sosialisme mengutamakan paham ’pertemanan’ atau ’persahabatan’ sebagai unsur pengikat di dalam pergaulan masyarakat. Jadi paham Sosialisme itu bertentangan sama sekali dengan paham individualisme, yang hanya mengutamakan kepentingan ’individu’ (kepentingan diri sendiri).

Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua dan semua buat satu, yaitu cara hidup yang memperlihatkan kepada kita, bahwa kita semua memikul pertanggung jawaban atas perbuatan kita bersama, satu sama lain. Sedang individualisme mengutamakan paham tiap-tiap orang buat dirinya sendiri.

Dalam menuangkan pemikirannya tersebut, Tjokroaminoto banyak membaca tulisan-tulisan pengarang dari Barat terutama karangan Prof.Quack (bangsa Belanda).Dari dalam kitab itu beliau bisa mengenal kaum sosialis dari berbagai abad dengan aturan masing-masing yang dibuat. Ternyata berdasarkan penelaahan beliau terdapat begitu besar perbedaan pengertian sosialisme antara satu  dengan  yang  lainnya.  Satu hal yang disepakati di antara mereka adalah sosialisme itu hendak melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban bersama di atas hawa nafsunya orang perorang atau segolongan manusia saja.

Beliau   menguraikan   bahwa   pergerakan-pergerakan   sosialistis   zaman dahulu tersebut  pertama kali timbul tidak  hanya karena disebabkan kerusakan masyarakat pada masing-masing zaman yang bersangkutan, tetapi juga terutama sekali mendapat impuls dari perasaan keagamaan yang mendalam. Namun secara perlahan-lahan unsur kebaikan dan Agama yang banyak terdapat pada kalangan rakyat tersebut semakin lemah dan perlahan-lahan pergerakan rakyat yang bersifat sosialistis  itu  semakin  lama  semakin  bertambah  kuat  berkiblat  pada  unsur kebendaan belaka (stoffelijke dingen), terutama sekali di negeri-negeri Barat.

Seperti yang juga diungkapkan oleh Marx dalam Materialism Dialectic dan Historis Materialism. Materialism Dialectic adalah pandangan hidup yang menekankan pada aspek perkembangan kebendaan. Sedangkan Historis Materialism adalah ilmu sejarah yang disandarkan pada sejarah perubahan sistem produksi yang berasal pada benda yang nyata.  Marx juga mengatakan bahwa dunia itu terdiri atas benda yang dapat ditangkap oleh panca indera, dan dunia yang seperti itulah yang ada. Sedangkan pikiran, perasaan walaupun tampaknya berada di atas panca indera namun hanya merupakan hasil dari pemikiran otak tentang adanya benda. Kenyataan ini membuktikan Historis Materialism nyata-nyata menentang akan eksistensi Tuhan, malaikat, roh dan perkara gaib lainnya yang diajarkan oleh semua agama terutama sekali oleh Islam. Menurut Hegel sebagaimana   yang   ditirukan   juga   oleh   Marx   bahwa:   ‘agama   itu   adalah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan hidup yang sulit ini sehingga agama itu merupakan candunya rakyat.

Sekalipun teori-teori sosialisme tersebut juga mempunyai maksud dan tujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan dominan jumlahnya  agar  mereka  bisa  mendapatkan  nasib  yang  sesuai  dengan  derajat mereka yaitu dengan jalan memerangi penyebab yang menimbulkan kemiskinan mereka. Namun teori-teori tadi juga bermaksud menentang kehidupan sosial masyarakat  yang ada sekarang  ini,  baik yang  berkaitan dengan soal ekonomi, pengadilan, bahkan soal kehidupan beragama.

Ia kemudian menentang konsep-konsep sosialismenya Marx dan kapitalisme itu, karena konsep Marx menjauhkan manusia dari agama sedangkan kapitalisme memperlihatkan watak individualisme yang berlebihan untuk menimbun  harta  yang  pada  akhirnya  digunakan  sebagai  alat  penindas rakyat. Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai objek. Sedangkan yang dilihat dari sudut pandang Islam, manusia itu khalifah, subjek yang merupakan muara atas semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Cita-cita sosialisme dalam Islam itu, tidak kurang berumur tiga belas abad, dan tidak dapat dikatakan bahwa berasal dari pengaruh orang Eropa. Walaupun tidak dapat dikatakan saat itu sudah ada propaganda sosialisme yang tersistematis seperti  sekarang,  namun  sesungguhnya  azas-azas  sosialisme  itu  telah  dikenal dalam  masyarakat  Islam  pada  zaman  nabi  Muhammad  SAW  dan  azas-azas tersebut lebih banyak lebih mudah dilakanakan pada masa itu jika dibandingkan dengan pelaksanaannya di Eropa pada masa kapan pun juga.

Kemudian ia mencontohkan tentang dasar-dasar sosialisme dalam pengertian Nabi Muhammad adalah kemajuan akhlak dan budi pekerti rakyat. Diyakininya tiap-tiap sosialisme yang sejati tidak akan tercapai selamanya kalau tidak dengan kemajuan akhlak budi pekerti rakyat itu. Akhlak dan budi pekerti yang baik itu umumnya ada pada bangsa Timur terutama bagi yang beragama Islam. Meski umat Islam seperti juga bangsa-bangsa Timur telah turun derajatnya di  mata  dunia,  tapi  mereka  itu  masih  memiliki  sifat  dan  tabiat  yang  sangat diperlukan untuk menjadi dasar kemajuan sosialisme.

Tabiat dan  nafsu manusia itu pada dasarnya tergantung keadaan tempatnya, yang masing-masing akan berusaha membesar-besarkan dan menjunjung setinggi-tingginya diri sendiri, pribadi dan egonya. Maka obat untuk mengatasi atau mencegah datangnya penyakit tersebut adalah agama. Sosialisme haruslah berdasar atau sesuai dengan kepercayaan agama. Kalau tidak maka sosialisme akan menyimpang dan membawa kerusakan pada manusia. Terutama dalam dunia yang dikuasai oleh nafsu kebendaan, dimana tujuan hidup manusia hanya untuk memenuhi nafsunya kebendaannya semata, maka dalam dunia yang seperti itu  akan sulit  diharapkan  seorang  manusia  mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan masyarakat. Dan dalam dunia yang hanya dikuasai oleh akal dan materialisme saja, segala keahlian itu pasti hanya untuk kepentingan ‘si kuat’ guna menindas ‘si lemah’.

Orang-orang sosialis Barat terlebih orang Bolsyevik atau komunis pada masa sekarang ini menjalankan sosialisme itu dari puncak dan tidak dimulai dari dasar. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan sosialisme itu berbeda dengan orang-orang sosialis Barat, yaitu dimulainya dari bawah. Mula- mula beliau mengubah sifat dan tabiat masing-masing orang sehingga mampu untuk membangun masyarakat yang sosialistis dengan terlebih dahulu membangun sifat dan tabiat yang menjadi dasar dan sandaran dari suatu negara yang tinggi tingkat sosialisnya.

Tjokroaminoto  juga menegaskan kalau Nabi Muhammad  ialah seorang nabi sejati dalam arti yang  sebenarnya, tidak pernah melakukan paksaan atau pengerdilan  dalam  sosialisme.  Nabi  Muhammad pun  tidak  pernah  melakukan suatu perjuangan kelas (klassen stijd) dan tidak pernah pula beliau melakukan atau memerintah orang untuk melakukan diktatur van het proletariat (kekuasaan hanya dimonopoli oleh kaum miskin). Segala sesuatu yang beliau lakukan untuk memajukan masyarakat, merupakan pelajaran yang hak dan petunjuk jalan yang benar. Beliau melakukan interaksi dengan semua manusia, tanpa membedakan kepandaiannya, derajatnya, atau tempat tinggal mereka. Yang pertama sekali dilakuka n beliau adalah memperbaiki dan mempertinggi akhlak masing-masing orang dan dengan demikian berarti beliau telah membersihkan masyarakat dari segala kekurangan, celaan, dan keburukan.

Tjokroaminoto kemudian menerangkan berbagai contoh dari pemerintahan Islam yang pada dasarnya mengenal dua macam sosialisme, masing-masing ialah Staats-socialisme,  dan Industrie-socialisme. Menurut beliau sosialisme yang pertama itulah yang penting karena inilah yang  dijalankan Islam.  Jika suatu  negara bersifat  sosialistis,  maka  hendaknya pekerjaan kerajinan (industri) diaturnya secara sosialistis dengan seluas-luasnya. Maka dalam negara yang seperti itu, tanahlah yang menjadi sumber penghasil dan sumber pekerjaan industri besar, itupun jika dijalankan sebaik-baik Landsocialisme dan Staats-socialisme. Dengan begitu tanah menjadi milik negara, kemudian alat-alat produksi yang dapat menghasilkan barang diberikan negara kepada rakyat. Maka sosialisme seperti inilah yang terutama sekali dijalankan oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka secepatnya diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikan milik negara.

Terakhir beliau mengatakan bahwa keistimewaan sosialisme Islam ialah tidak  merusak  semangat berkarya  dan kegiatan  seseorang  serta tidak  menjadi penghambat cita-cita seseorang untuk maju sebaliknya dipantangkan bagi seseorang  menindas  dan  merusak  orang  lain,  atau  menjadi kaya dengan  cara merugikan atau memakai hasil usaha orang lain. Sosialisme Islam tentu saja dapat mencapai tujuannya karena setiap orang baik pria maupun wanita telah mampu untuk  menerima  azas  sosialistis  karena  akhlak,  sifat,  serta  tabiatnya  telah diperbaiki terlebih dahulu. Dasarnya sosialisme Islam adalah agama. Orang Islam baik pria maupun wanita semuanya berusaha untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar.

Tjokroaminoto disini berusaha memperlihatkan keunggulan Sosialisme Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya, termasuk  sosialisme Marx, komunisme, dan kapitalisme. Tjokroaminoto hanya memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme yang manusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosialisme yang dibangun  atas  dasar  diktator  proletariat.  Dengan  sistem  pasar  tunggal  yang dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat-alat produksi, ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi. Sementara  itu  Sosialisme  Islam  justru  memperbolehkan  setiap  orang  untuk berusaha dan berkompetisi secara jujur dan adil.

Dengan Sosialisme Islam, hak individu masyarakat tetap terjamin. Yang penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa belaka, tetapi membangun semangat berkompetisi dengan skill masing-masing, karena setiap orang memang dilahirkan  tidak  untuk  sama  rata  sama  rasa,  apalagi  kalau kemudian  disama ratakan melalui proses yang dipaksakan secara diktator. Setiap orang bebas mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan beliau menambahkan, dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam persentase tertentu harus diberikan kepada orang yang tidak mampu yang disebut sedekah atau zakat. Sosialisme model ini tidak melahirkan kondisi sama rata, tetapi menimbulkan kondisi sama rasa seperti yang ditekankannya dalam pidato di Kongres SI di batavia sebelumnya, yang mana maksudnya sama-sama merasakan kebahagiaan satu sama lainnya.

Maka Tjokroaminoto telah tiba pada pada suatu kesimpulan akhir bahwa sosialisme  itu  mudah dijalankan  oleh  mereka  yang  beragama  Islam  karena landasan nasionaliteit mereka adalah agama. Terhadap hal ini Tjokroaminoto tiba pada uraian kaitan sosialisme dengan kebangsaan dan berpendapat :

”Sosialisme Islam mudah ditanam dan dilakukannya, oleh karena Nasionaliteit (kebangsaannya) orang Islam itu tidak terbatas oleh batas- batas kenegaraan, oleh perbedaan warna kulit, oleh perlainan bahasa, oleh perbedaan tanah air dan benua, tetapi kebangsaannya orang Islam adalah berdasarkan kepada agama, yang batas-batasnya sangat luas, melampaui batas-batas yang sempit.. Di tempat mana saja orang Islam tinggal, bagaimanapun  juga  jauhnya dari negeri tempat  kelahirannya,  di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bagian dari masyarakat Islam, di tempat manapun orang Islam itu berdiam, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Nasionalisme yang semacam itulah Nasionalisme Islam, yang menjadi dasar sosialisme yang tersiar di seluruh muka bumi.”

D. Pandangan Tjokroaminoto tentang Demokrasi dan Sistem Parlemen

Bagi Tjokroaminoto pondasi dari sistem demokrasi harus didasarkan pada tauhid yaitu segala sesuatu berasal dari Allah, untuk Allah, dan kembali pada Allah. Bukan pondasi yang dianut oleh paham Kapitalisme dan Komunisme yang berakar pada pandangan hidup materialisme. Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh melaksanakan  ajaran  agamanya,  maka  dengan  sendirinya  dia  akan  menjadi seorang demokrat, dan demikian juga sosialis. Tetapi tidak berarti dalam pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Sebab jika seseorang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah Allah maka ia tidak akan lagi dipenuhi nafsu egoisme, individualisme, despotisme, maupun kapitalisme.  Jika  tidak  maka  ia  belum dapat  dikatakan  seorang  muslim  yang baik.

Demokrasi  yang  dimaksudkannya  disini  jelas  adalah  demokrasi  yang Islami sebab menekankan pada musyawarah yang didukung oleh pendapat rakyat. Tjokroaminoto menyatakan hal tersebut dalam Program Asas PSII yaitu “Negeri merdeka (Indonesia) yang kaum Partai SI Indonesia wajib mencapainya, pemerintahannya haruslah bersifat demokratis, sebagaimana yang dicantumkan di dalam Al-Qur’an:

“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syura: 38)

Selanjutnya, Tjokroaminoto menjelaskan bahwa:

“Menurut faham kaum partai SI Indonesia dan juga mengingat contoh- contoh pada zaman Khulafaur Rasyidin, pemerintahan yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tersebut, terlebih-lebih buat zaman kita yang sekarang ialah harus suatu pemerintahan yang kekuasaannya bersandar kepada kemauan Rakyat (Ummat), yang menyatakan sepenuh-penuh suaranya di dalam suatu Majelis Usy-Syura, yaitu berupa Majelis Perwakilan Rakyat, susunan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya harus berdasar kepada asas-asas demokrasi yang seluas-luasnya.”

Dengan mengambil sampel tentang kehidupan politik di desa-desa, ia berharap demokrasi juga dapat diterapkan di Hindia secara menyeluruh. Ia mengatakan di desa-desa demokrasi telah ada dalam bentuk Dewan Kampung, tempat semua warga desa dapat saling berdiskusi untuk memecahkan masalahnya sehari-hari. Belum lagi pemilihan   kepala   kampung   telah   menjadi   model demokrasi di Hindia. 

Perintah mengadakan pemerintahan yang  bersifat  musyawarah menurut beliau turun di Makkah ketika kaum muslimin masih berjumlah sedikit dan hidup dalam penindasan dan ketidakadilan. Perintah tersebut ternyata bermaksud agar kaum muslimin, walaupun dalam keadaan tertindas, perlu menyiapkan organisasi untuk membicarakan dan memutuskan perkara-perkara mengenai umat. Organisasi ini adalah majelis yang disebut sebagai Majelis Usy Syura dan waktu itu  modelnya dapat disamakan dengan parlemen  masa sekarang.  Musyawarah itulah yang menjadi dasar corak pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin.

Di dalam Islam, pemerintahan baik yang berbentuk republik atau kerajaan dengan parlemen harus berlandaskan ‘sosialisme yang sejati’ sebagaimana yang dipraktekkan  oleh  Nabi  Muhammad  SAW. Didalam  sistem  ini,  baik  rakyat maupun penguasanya akan dapat terbebas dari sikap saling membenci dan bermusuhan disebabkan perbedaan golongan, perbedaan bangsa atau warna kulit; tidak ada perbedaan kebutuhan dan keperluan antar yang diperintah dan yang memerintah; atau penduduk tidak perlu lagi memakai kekuasaan dan polisi untuk menjaga  ketertiban.  Pemerintahan mendapat  kontrol dari  seluruh  rakyat  yang berpegang pada hukum Tuhan yaitu Al-Quran. Kedaulatan Negara dipegang oleh rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Islami inilah yang menjadi perhatian Tjokroaminoto. 

Untuk menduku ng pemerintahan yang sosialistis yang kedaulatan Negara ada  di tangan rakyat  ini,  mula-mula tabiat  tiap  rakyat  harus diubah sehingga mampu untuk membangun masyarakat yang sosialistis. Pendidikan politik harus ditanamkan  pada rakyat  agar  mengerti hak  dan  kewajibannya. Tjokroaminoto menandaskan “tiap-tiap kali terasa perlunya ada usaha untuk memperbaiki soal pemerintahan dan Negara,  maka tiap-tiap kali pula tambah perlunya diadakan usaha untuk memperbaiki tabiat dan perangai dari tiap-tiap rakyat dalam Negara tersebut.” Kemudian  mengenai  parlemen  yang  dimaksudkan  oleh  beliau  adalah Dewan Rakyat. Dalam kongres SI di Bandung pada tahun 1916 ia mengemukakan:

“Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harapkan dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk bumiputera hak  untuk  ikut  serta dalam  mengadakan  bermacam-macam peraturan yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa keikutsertaan kita”. Dilanjutkan lagi “Kita terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur  datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda, atau paling sedikit Dewan Jajahan (Dewan Rakyat), agar kita dapat berbicara dalam urusan pemerintahan.”

Dewan Rakyat yang akan dibentuk pada tahun 1917 itu, walaupun tidak dapat disebut ideal, menurut Tjokroaminoto tetap harus disambut dengan gembira sebagai langkah pertama untuk mencapai tujuan akhir, ialah pemerintahan sendiri untuk  Indonesia.  Karena  memang  pada  saat  itu,  komposisi dari para  anggota Volksraad amat tidak seimbang dan tidak menguntungkan rakyat. Apalagi wewenang  Volksraad  hanya  sebagai  penasihat  pemerintah  kolonial  Belanda. Volksraad bukan badan legislatif sebagaimana tuntutan Kongres SI yakni badan legislatif sebagai badan pembuat undang-undang  yang akan dikenakan kepada rakyat.

Namun apabila Dewan Rakyat maupun partai-partai politik tidak mampu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka rakyat harus memberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya dalam bentuk referendum agar pemerintah dan parlemen dapat mengetahui secara pasti tentang suatu Undang- Undang yang akan disahkan itu apakah dapat diterima oleh rakyat atau tidak. Bahkan dalam rangka kepentingan secara menyeluruh, rakyat pun harus diberi kesempatan untuk menyampaikan inisiatif rakyat sendiri secara langsung yang disebut  dengan  istilah  Belanda  Volksinitiatief.  Perihal  ini  seperti  yang  sudah berlaku di Swiss kira-kira sejak pertengahan dan penghabisan abad ke-19.

Jadi menurut pandangan Tjokroaminoto, apa yang dimaksud referendum tidak lain ialah hak rakyat atau ummat untuk menyatakan pendapatnya terhadap rancangan Undang-Undang  baik  yang  disampaikan oleh pemerintah ke  forum parlemen atau yang berasal dari usul inisiatif anggota Dewan Rakyat (parlemen) sendiri. Sedang yang dimaksud dengan volksinitiatief disini ialah hak rakyat untuk mengajukan. Rancangan Undang-Undang sendiri langsung kepada parlemen tentang apa yang menjadi keinginan rakyat. Adanya referendum dan volksinitiatief oleh beliau bukan untuk meniadakan parlemen, tetapi justru untuk memperkuat dan memperluas pengaruh parlemen dan juga sebagai bukti bahwa parlemen itu adalah  hasil  penjelmaan  dan  kemauan  rakyat  dan  karena  itu  parlemen  harus bergantung  kepada  dan  senantiasa  mengumandangkan  suara  dan  kepentingan rakyat.

Selanjutnya Tjokroaminoto menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam,  sudah sejak  lama terdapat  peraturan atau  undang-undang mengenai orang-orang yang mempunyai hak memilih yang disebut ahlul ikhtiyar atau ahlul aqd wal hall yaitu orang-orang yang membuat dan membatalkan undang-undang, dan mengenai orang-orang yang mempunyai hak untuk dipilih atau ahlul imamat yaitu orang-orang yang bertugas memegang dan menjalankan kekuasaan.

Tjokroaminoto  sendiri semasa masih aktif menginginkan banyak tokoh Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin pemerintahan  menjadi  Negara  Islam  karena   ini  akan  mengingkari  sendiri ajarannya tentang perlunya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atas nama agama. Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain langsung atau tidak akan terdiskriminasi bahkan termarjinalkan. Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa muslim itu  demokrat  dan  sosialis.  Dengan pengertian dari prinsip-prinsip  ini, berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan menegakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Tjokroaminoto  tidak  mengedepankan  kekuasaan  Islam  melainkan  pengabdian Islam di tengah masyarakat yang pluralistik.

A. Kesimpulan

1. H.O.S. Tjokroaminoto adalah sosok pemimpin yang multitalenta, dia memulai kariernya dari Nol walaupun dia punya latar belakang keluarga terhormat. Beliau memilih meninggalkan semua itu dan mencari kerja sesuai kemampuannya.

2. Menurutnya  Nasionalisme Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang berdasarkan Islam.

3. Dia berpandangan bahwa Sosialisme Islam mudah ditanam dan dilakukannya, oleh karena Nasionaliteit (kebangsaannya) orang Islam itu tidak terbatas oleh batas- batas kenegaraan, oleh perbedaan warna kulit, oleh perlainan bahasa, oleh perbedaan tanah air dan benua, tetapi kebangsaannya orang Islam adalah berdasarkan kepada agama, yang batas-batasnya sangat luas, melampaui batas-batas yang sempit.

4. Yang menjadi perhatian Tjokroaminoto adalah Kedaulatan Negara dipegang oleh rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Islami, sistem kenegaraan  dalam  pemikiran  Tjokroaminoto  adalah negara demokrasi Islam.

Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Ajisaka, Arya, Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta: Kawan Pustaka, 2008
Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid I, Jakarta: Bulan bintang, 1952
Suryanegara,  Ahmad  Mansyur,  Api  Sejarah,  Bandung:  Salamadani  Pustaka Semesta, 2009
Amin, M.Masyhur, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995
Arifin,  Imron  dan  Agus  Sunyoto,  Darul  Arqam  Gerakan  Mesianik  Melayu, Malang: Kalimasahada Press, 1996
Budiarjo,  Prof.Miriam,  Dasar-Dasar  Ilmu  Politik,  Jakarta:  Gramedia  Pustaka Utama, 1986
Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Drs.  Salim  dan  Drs.  Syahrum,  Metodologi  Penelitian  Kualitatif,  Bandung: Citapustaka Media, 2007
Eatwell,  Roger  dan  Anthony  Wright  (ED),  Ideologi  Politik Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2004
Elster, Jon, Karl Marx, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000
F.Isjwara S.H, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1982
Furchan,  Arief  dan  Agus  Maimun,  Studi  Tokoh,  Metode  Penelitian  Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Gonggong, Anhar, H.O.S Tjokroaminoto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
Harahap,  Prof.Dr.Syahrin,  Metodologi  Studi  Tokoh  Pemikiran  Islam,  Medan: Istiqamah Mulya  Press, 2006
Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003
H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega Arsy, 2008
H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, Jakarta: Lajnah Tanfidiyah PSII, 1965
Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia, Tahun 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1983
Korver, A.P.E, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Gratifipers, 1985
Mertolojo, Soemartono, Sosialisme Indonesia, Semarang: Mitra Jaya, 1961
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996
Pranoto, Suhartono W., Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
Rambe,  Safrizal,  Sarekat  Islam  Pelopor  Bangkitnya  Nasionalisme  Indonesia 1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008
Shiraisi,  Takashi,  Zaman  Bergerak  Radikalisme  Rakyat  di  Jawa 1912 - 1926, Jakarta: Graffiti, 1977
Soedarmanta, J.B., Jejak-Jejak Pahlawan, Jakarta: Grasindo, 2007
Suseno,   Frans  Magnis,   Pemikiran  Karl  Marx  Dari  Sosialisme  Utopis  ke Perselisihan Revisionis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
Tashadi  dkk,  Tokoh-Tokoh  Pemikir  Paham  Kebangsaan,  Jakarta: Depdikbud, 1993
Van Niel,  Robert,  Munculnya Elite Modern  Indonesia,  Jakarta:  Pustaka  Jaya, 2009

(sumber: politicalphotography.blogspot.com)

0 komentar:

Posting Komentar