Nama lengkapnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim. Sedangkan “Tan Malaka” adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibu. Tanggal kelahirannya tidak dapat dipastikan. Data yang ada hanya menyebutkan bahwa ia lahir pada Juni 1897. Adapun tempat kelahirannya sekarang dikenal sebagai Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ayahnya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian. Adapun ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.
Tan kecil mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya, GH Horensma, meskipun Tan kadang-kadang tidak patuh, namun ia murid yang pintar. Di sekolahnya, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda.
Ia juga seorang pemain sepak bola yang hebat. Ia lulus dari sekolah pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar “Datuk”. Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Belajar ke Belanda
Pada Oktober 1913, saat masih berumur 17 tahun, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari desanya. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah, ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman. Namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV), pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.
Mengajar
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor.
Selama masa ini, ia juga jadikan kesempatan belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah “Tanah Orang Miskin”, yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun, serta mulai terjun ke kancah politik. Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, ia diangkat sebagai pimpinan partai. Pada Januari 1922, ia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Serta pada Maret 1922, ia diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan
Pada tahun 1921, Tan telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, ia banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, ia merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun, pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu, sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu, Tan mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak anggota SI guna penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama, memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain). Kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan. Ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin.
Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan, sekolah itu berkembang sangat cepat hingga makin lama semakin besar.
Perjuangan Tan saat itu tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan, seperti yang dilakukan pada buruh oleh pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Pemimpin Komunis
Sebagai pemimpin komunis, pergulatan Tan sangatlah berpengaruh dalam komunisme internasional. Ia tak hanya mempunyai hak untuk memberi usul dan kritik, tapi juga hak untuk memberi veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan juga memberi pengawasan agar anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern, seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa, diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian, tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda, ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat di pundaknya. Tan dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia yang justru berakibat buruk bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Sehingga, dengan mudah dan dalam waktu singkat, pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya dan menangkap ribuan pejuang politik. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh, dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka, perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927, Tan memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya, Tan memang telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya dari Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Karya
Ciri khas gagasan Tan adalah pertama, dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti. Kedua, bersifat Indonesia sentris. Ketiga, futuristik. Keempat, mandiri, konsekuen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah, bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Semua karya Tan didasari oleh kondisi dan permasalahan Indonesia, baik kondisi rakyat, Nusantara, serta kebudayaan dan sejarah. Dan karya-karyanya menjadi landasan teroritis bagi perjuangannya. Misalnya, untuk mencapai Republik Indonesia, hal itu sudah ia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Oleh karena itu, ia akan terus ‘hidup’ dan berjuang melalui karya-karyanya.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran, maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an, serta benang merah kemandirian dan konsistensi yang jelas dalam gagasan serta perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, ia berada di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948, dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada Februari 1949, Tan hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi, Harry A. Poeze, seorang sejarawan Belanda, pernah menuturkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze itu, juga pernah merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun, berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963, menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
(sumber: sejarahri.com)
0 komentar:
Posting Komentar