Sabtu, 05 April 2014


                                   Oleh : Fadil Abubakar

Di Indonesia, kelompok minoritas merupakan sesuatu yang selalu mendapatkan ancaman terlebih jika minoritas dalam sebuah agama. Banyak kejadian-kejadian yang merugikan kekuatan UUD juga Pancasila. Bagaimana tidak, kelompok mayoritas selalu saja menekan kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Kerusuhan yang meledak terjadi di Sampang Madura, berawal dari pembakaran rumah penganut Syiah bahkan harus menelan korban jiwa. Sangat di sesalkan jika negara ini yang kaya dengan keragaman suku, budaya juga agama harus dinodai oleh mereka yangintoleran.

Akhir-akhir ini, banyak kelompok minoritas yang tertekan oleh mereka yang sulit menerima perbedaan. Lihat saja saudara kita yang ingin beribadah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, mereka di halang-halang oleh pengaku beragama namun tak memberikan kasih sayang sesama manusia. Juga, kelompok Ahmadiyah yang mengalami keadaan yang sama dengan kelompok Syiah. Inilah bukti bahwa negara tidak hadir dalam kasus ini. Toleransi sangat sulit bagi orang-orang yang menolak perbedaan.

Meninjau kembali kasus Sampang yang terjadi pada tahun lalu tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2012. Kasus ini belum juga usai, hingga para korban harus tetap berada di Gor Sampang hingga harus kembali terusir dari Gor Pengungsian. Ini disebabkan oleh Kurangnya perhatian oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk secara tegas dan adil menyudahi masalah kasus Sampang. Pemerintah daerah seakan lepas tangan mengenai tindakan kekerasan yang di alami oleh penganut Islam Syiah Sampang. Anehnya lagi, ustadz Tajul Muluk yang merupakan korban kekerasan malah tertimpa hukum atas kasus “penodaan agama”. Ibarat kata, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Padahal jika melihat apa yang terjadi lapangan, kita bisa menyimpulkan bahwa seharusnya hukum lebih memberatkan para pelaku kekerasan tersebut. Toh, Syiah adalah sebuah madzhab yang diakui oleh negara-negara Islam di dunia. Lalu, permasalahan yang terjadi di Sampang pasti terdapat unsur kepentingan oknum. Karena, konsep Syiah Imamiah itsna’asyariyah yang merupakan aliran yang di anut oleh seluruh Syiah di Indonesia adalah madzhab yang sah dalam Islam. Itu menurut ketua umum PBNU, KH. Agil Siradj.


Sejatinya, pemerintah pusat yang lebih bertanggung jawab atas kasus ini. Karena, jika pemerintah pusat saja acuh terhadap kasus Sampang, bagaimana dengan pemerintah daerah? Terlebih lagi, kasus yag terjadi di Sampang adalah kasus kaum minoritas, mungkin saja para pejabat pemerintah tidak menemukan keuntungan karir politik mereka. Sehingga, untuk menyelesaikan masalah kasus ini, mereka acuh untuk merealisasikannya. Sayangnya, kasus ini selalu mengatakan bahwa ini hanya persoalan “asmara” dan bukan konflik agama. Jika memang kasus “asmara”, kenapa harus terjadi pembunuhan, pengusiran dan pembakaran rumah milik masyarakat yang kebetulan adalah penganut Syiah? Apa solusi yang tepat untuk menyelesaikan kasus “asmara” ini? Menakjubkan, hanya persoalan “asmara” harus terjadi tindak kekerasan yang sangat brutal dan memojokkan Indonesia di dunia Internasional karena telah gagal dalam melindungi kaum minoritas dan bahkan menyuburkan semangat radikalisasi.

Ini merupakan bukti bahwa pemerintahan saat ini telah gagal dalam menerapakan prinsip yang tertera jelas dalam Undang-undang dasar (UUD) ataupun dalam dasar ideologi negera yakni Pancasila. Seharusnya, jika Indonesia tidak ingin di beri label gagal oleh dunia internasional, pemerintah harus melakukan upaya lebih komprehensif dengan menghentikan konflik yang terjadi di Indonesia, terlebih lagi jika kaum minoritas yang menjadi korbannya. Malah Anehnya, korban yang menjadi tersangka, sedangkan pelaku pembakaran, pembunuhan dan pengusiran tidak tersentuh oleh hukum apapun.

Terlepas dari lingkaran agama, tidak ada satupun alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan tersebut. Jika berbicara dalam konsep agama, maka Alquran menjelaskan:

“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. an-Nahl [16]: 125).

Mungkin ayat ini cukup untuk memberikan makna sesungguhnya dalam Islam. Kekerasan, mencuri dan hal-hal yang tergolong kejahatan adalah hal yang paling dilarang oleh Islam.

Dalam Islam, perbedaan diantara madzhab tidak dapat dipungkiri lagi. Dan juga setiap tafsiran para ulama masing-masing madzhab akan terdapat perbedaan. Tapi, seharusnya penjelasan ulama kepada umat yang lebih dijelaskan secara baik-baik dan tidak menebarkan ucapan-ucapan permusuhan diantara madzhab yang lain. Khususnya, ulama-ulama kita lebih menekankan agar umat harus lebih toleransi terhadap perbedaan. Sehingga, umat yang tidak akan terkotak-kotak dan tidak saling memusuhi lagi. Penyerangan yang terjadi disampang adalah akibat dari kurangnya pendekatan para ulama-ulama yang berpotensi dalam menyerukan untuk hidup penuh toleransi.

Perbedaan adalah hal yang lumrah, karena semua memiliki pemikiran masing-masing dalam menafsirkan segala hukum kehidupan dan hukum langit. Seseorang tidak bisa dilarang karena yang bersangkutan memilih aliran dan tafsir yang beda dalam beragama. Karena, setiap orang memiliki kebebasan berfikir dan selama kebebasannya tidak merusak kebebasan orang lain. Islam adalah agama yang memiliki banyak jalan menuju Tuhan. Toh, inti beragama adalah sosialisasi yang baik terhadap masyarakat dan saling mengenal. Karena, di Alquran pun mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia ini bersuku-suku. Oleh karena itu, hidup berlandaskan toleransi juga bersikap plural adalah solusi untuk umat Islam agar tidak lagi ada konflik mengatasnamakan agama. Kasih sayang adalah Islam dan Islam adalah kasih sayang antar manusia di dunia ini. Wallahu a’lam.


0 komentar:

Posting Komentar