Rabu, 23 April 2014



Gatot Mangkoepradja lahir pada tanggal 15 Desember 1898 (bukan tanggal 25 Desember seperti dikutip Wikipedia) di Kampung Citamiang, Desa Panjunan Kabupaten Sumedang.  Dari silsilahnya ia adalah seorang keturunan Menak Galuh (Ciamis). Ayahnya, dr. Saleh Mangkoepradja adalah putra Rd. H. Moehammad Tajib, Hoofdpenghulu di Landraad Ciamis dengan Nyimas Soewarta, keturunan Prabu Wastukancana.
Ayah Gatot, dr. Saleh adalah dokter yang cukup terkenal di Sumedang karena dalam prakteknya selain menggunakan obat-obat farmasi juga menggunakan obat tradisional  dari tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Penghasilannya sebagai dokter cukup besar sehingga bisa membeli rumah, sawah, kebun, dan mendapatkan kendaraan dinas dari Jawatan Kereta Api.
Pada usia lima tahun, Gatot memasuki sekolah Frobel School Ny. Westenenk di Sumedang. Tahun 1905 ia melanjutkan sekolahnya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung. Ketika usianya mencapai tujuh tahun, ibunya meninggal dunia.

Pada tahun 1912 Gatot berhasil mendapatkan Klein Ambtenaren Examen dengan nilai tujuh. Ia melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter) namun hanya bertahan tiga tahun. Gatot lantas memasuki Hogere Burger School (HBS) yang lagi-lagi tidak dirampungkannya karena alasan yang tidak disebutkannya. Pada tahun 1922 ia bekerja di Jawatan Kereta Api dan berhenti tahun 1925 karena “suatu peristiwa dalam rumah tangga”. Gatot tidak menjelaskan lebih jauh peristiwa itu. Ia hanya menjelaskan bahwa setelah itu ia tidak lagi bekerja dan menggantungkan penghasilan dari sawah, kebun dan usaha taksi.
Sejak mengenyam pendidikan di STOVIA, Gatot mulai berkenalan dengan dunia politik. Ia terjun dalam pembentukan Paguyuban Pasundan bersama D.K. Ardiwinata, E. Poerawinata, Djoendjoenan Setiakoesoemah, dll.. Pada tahun 1918 Gatot sudah dipercaya menjadi anggota pimpinan Bond van Inheemsche Studeerenden di Bandung. Perkumpulan ini mengkoordinasikan pelajar-pelajar STOVIA, Kweekschool, AMS hingga berfusi menjadi Jong Java.
Pada tahun 1926 Gatot Mangkoepradja aktif dalam Algemene Studie Club Bandung yang dipimpin Soekarno, Douwes Dekker, Dt. Tjipto, Sosrokartono, dll. Sejak itu hubungannya dengan Soekarno semakin giat dilakukan.  Setahun kemudian mereka mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang nantinya berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Ketuanya adalah Ir. Soekarno, sedangkan Gatot menjadi sekretaris pusat.  Peran dalam partai tersebut dijalani Gatot dengan penuh totalitas.

Atas keputusan pemerintah kolonial yang mengkhawatirkan pergerakan PNI, Gatot beserta Ir. Soekarno ditangkap di Yogyakarta untuk kemudian disidang di Landraad dan dipenjara di Banceuy. Setelah bebas, Gatot kembali menerjunkan diri dalam kegiatan Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin Mr. Sartono. Soekarno selepas pembebasannya juga ikut melibatkan diri dalam partai ini tapi tidak berlangsung lama karena ia segera dibuang pemerintah kolonial ke Endeh. Kegiatan Partindo pun menurun. Gatot memutuskan untuk mengundurkan diri dari partai karena “kebutuhan rumah tangga yang mendesak”. Ia kemudian mendirikan perusahaan rumah obat “Dispensary” di jalan raya No. 22 Bandung.
Perusahaan rumah obat itu memperkenalkan Gatot kepada orang-orang Jepang yang menjadi rekan bisnisnya. Pada tahun 1933 Gatot pergi ke Jepang untuk menjalin hubungan bisnis sekaligus menghadiri Kongres Pan Asia di Tokyo. Di sana ia banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Jepang. Sekembalinya ke Indonesia hubungan dengan orang-orang Jepang yang membuka toko di Bandung, Jogja dan Solo pun semakin intens dilakukan.
Kegiatan Gatot yang sering keluar masuk toko milik orang Jepang ini mendapatkan pengawasan dari aparat pemerintah. Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Gatot memutuskan untuk pindah ke Cianjur. Di sama ia mendirikan Rumah Obat Kruidenhandel De Erden Dr. Saleh yang sukses membuka cabang dimana-mana.

Tak disangka hubungan baik yang dijalin Gatot dengan orang-orang Jepang akan sangat berpengaruh pada hidupnya di masa penjajahan Jepang. Ia menjadi orang kepercayaan aparat pemerintah militer Jepang, terbukti dari pengangkatannya sebagai ketua “Gerakan 3 A” di Cianjur. Di saat yang sama Soekarno telah aktif di Putera (Pusat Tenaga Rakyat), yang diakui Gatot kurang mendapat sambutan baik dari pemerintah militer jepang sehingga Gatot menyerukan agar kawan-kawannya di Sukabumi tidak melibatkan diri dalam gerakan tersebut. Akibatnya di Karasidenan Bogor tidak ada Putera.
Pada tahun 1943 surat kabar Tjahaja di Bandung memuat berita kunjungan Rd. Soetarjo Kartohadikoesoemo ke Jepang untuk mengajurkan pemerintah Jepang membentukmilisiplicht (wajib militer) di Indonesia. Gatot menyesalkan usulan tersebut karena PNI pernah menentang konsep yang sama di zaman kolonial.

Gatot merasa resah atas wacana itu karena pelaksanaan wajib militer berarti penderitaan lebih lanjut bagi penduduk Indonesia. Kebijakan itu malah memperkuat kedudukan penjajah dan bisa dikirimkan ke luar negeri. Gatot menyetujui keharusan persiapan kekuatan militer di kalangan masyarakat Indonesia tetapi ia tidak menyetujui bentuk wajib militer. Sehingga sehari setelah berita wacana wajib militer dimuat, Gatot segera mengirimkan surat ke redaksi Tjahaja yang isinya :

Setelah tulisan itu dimuat, Gatot langsung diiterogasi Kempeitai (dinas rahasia Jepang) atas tuduhan anti-Nippon. Gatot langsung menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak anti-nippon, ia juga menginginkan barisan sukarela karena kalau sukarela, tentu orang-orang mau atau berani menjadi anggota sebab sekarang musim perang. Pengalaman terdahulu membuktikan bahwa wajib militer yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil menghasilkan prajurit bermoral tinggi sehingga mereka kocar-kacir di medan perang.
Beberapa hari kemudian Gatot dibawa ke kantor Bepang di Batavia yang tingkatannya lebih tinggi dari Kempeitai. Di sana ia disuruh membuat surat permohonan pembentukan Barisan Sukarela.  Saat itulah peristiwa “tinta darah” Gatot Mangkoepradja terjadi.
Atas dukungan beberapa pihak, atas usulan tersebut terbentuklah Barisan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Seruan-seruan untuk bergabung di dalamnya segera dimuat di surat kabar dan mendapatkan banyak sambutan. Dalam waktu singkat sarana-sarana pelatihan kader tentara sukarela pun dibangun di mana-mana. Pelatihan pasukan ini dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.  Nama “PETA” untuk barisan ini sendiri baru muncul tahun 1944 atas inisiatif Oto Iskandar Dinata dan Jusuf Jahja. Selain terlibat dalam pembentukan PETA, Gatot juga terlibat dalam pendirian Barisan Pelopor dan Hizbullah. Ia menolak tuduhan sebagai kolabolator atas semua aksinya itu.

Pasca kemerdekaan, Gatot yang menjadi pimpinan BKR ditahan oleh sekutu di Pulau Onrust atas tuduhan kejahatan perang dan kolaborator perang. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun. Ia baru dibebaskan setelah diadakannya perjanjian Linggarjati. Setelah itu Gatot langsung melibatkan diri dalam PNI yang dahulu didirikannya.
Orientasi PNI yang dianggapnya terlalu “Jawa Sentris” memaksanya untuk keluar dan membentuk partai baru bernama Partindo tahun 1958. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi anggota MPRS di Gedung Merdeka Bandung. Ia hanya bertahan selama empat tahun karena adanya peremajaan. Ketika itu ia sudah jatuh miskin dan sakit-sakitan. Pada tanggal 28 September 1968 Gatot mengajukan surat permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai veteran dari pemerintah dan Gubernur Jawa Barat Mayjen. Mashudi. Hanya saja tidak jelas kelanjutannya  karena ia keburu meninggal pada tanggal 4 Oktober 1968. Yang pasti, Gatot Mangkoepradja tidak dimakamkan di makam pahlawan, melainkan di pemakaman sipil bersama rakyat yang telah diperjuangkannya.


0 komentar:

Posting Komentar