Gatot Mangkoepradja
lahir pada tanggal 15 Desember 1898 (bukan tanggal 25 Desember seperti dikutip
Wikipedia) di Kampung Citamiang, Desa Panjunan Kabupaten Sumedang. Dari
silsilahnya ia adalah seorang keturunan Menak Galuh (Ciamis). Ayahnya, dr.
Saleh Mangkoepradja adalah putra Rd. H. Moehammad Tajib, Hoofdpenghulu di
Landraad Ciamis dengan Nyimas Soewarta, keturunan Prabu Wastukancana.
Ayah Gatot, dr. Saleh
adalah dokter yang cukup terkenal di Sumedang karena dalam prakteknya selain
menggunakan obat-obat farmasi juga menggunakan obat tradisional dari
tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Penghasilannya sebagai dokter cukup besar
sehingga bisa membeli rumah, sawah, kebun, dan mendapatkan kendaraan dinas dari
Jawatan Kereta Api.
Pada usia lima tahun, Gatot memasuki sekolah Frobel
School Ny. Westenenk di Sumedang. Tahun 1905 ia melanjutkan sekolahnya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung. Ketika usianya
mencapai tujuh tahun, ibunya meninggal dunia.
Pada tahun 1912 Gatot
berhasil mendapatkan Klein Ambtenaren Examen dengan nilai tujuh. Ia melanjutkan
ke STOVIA (Sekolah Dokter) namun hanya bertahan tiga tahun. Gatot lantas
memasuki Hogere Burger School (HBS) yang lagi-lagi tidak dirampungkannya karena
alasan yang tidak disebutkannya. Pada tahun 1922 ia bekerja di Jawatan Kereta
Api dan berhenti tahun 1925 karena “suatu peristiwa dalam rumah tangga”. Gatot
tidak menjelaskan lebih jauh peristiwa itu. Ia hanya menjelaskan bahwa setelah itu
ia tidak lagi bekerja dan menggantungkan penghasilan dari sawah, kebun dan
usaha taksi.
Sejak mengenyam pendidikan di STOVIA, Gatot mulai berkenalan dengan dunia
politik. Ia terjun dalam pembentukan Paguyuban Pasundan bersama D.K.
Ardiwinata, E. Poerawinata, Djoendjoenan Setiakoesoemah, dll.. Pada tahun 1918
Gatot sudah dipercaya menjadi anggota pimpinan Bond van
Inheemsche Studeerenden di Bandung. Perkumpulan ini mengkoordinasikan pelajar-pelajar STOVIA,
Kweekschool, AMS hingga berfusi menjadi Jong
Java.
Pada tahun 1926 Gatot Mangkoepradja aktif dalam Algemene Studie Club Bandung yang dipimpin Soekarno, Douwes
Dekker, Dt. Tjipto, Sosrokartono, dll. Sejak itu hubungannya dengan Soekarno
semakin giat dilakukan. Setahun kemudian mereka mendirikan Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI) yang nantinya berubah nama menjadi Partai Nasional
Indonesia. Ketuanya adalah Ir. Soekarno, sedangkan Gatot menjadi sekretaris
pusat. Peran dalam partai tersebut dijalani Gatot dengan penuh totalitas.
Atas keputusan
pemerintah kolonial yang mengkhawatirkan pergerakan PNI, Gatot beserta Ir.
Soekarno ditangkap di Yogyakarta untuk kemudian disidang di Landraad dan
dipenjara di Banceuy. Setelah bebas, Gatot kembali menerjunkan diri dalam
kegiatan Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin Mr. Sartono. Soekarno
selepas pembebasannya juga ikut melibatkan diri dalam partai ini tapi tidak
berlangsung lama karena ia segera dibuang pemerintah kolonial ke Endeh.
Kegiatan Partindo pun menurun. Gatot memutuskan untuk mengundurkan diri dari
partai karena “kebutuhan rumah tangga yang mendesak”. Ia kemudian mendirikan
perusahaan rumah obat “Dispensary” di jalan raya No. 22 Bandung.
Perusahaan rumah obat
itu memperkenalkan Gatot kepada orang-orang Jepang yang menjadi rekan
bisnisnya. Pada tahun 1933 Gatot pergi ke Jepang untuk menjalin hubungan bisnis
sekaligus menghadiri Kongres Pan Asia di Tokyo. Di sana ia banyak berkenalan
dengan tokoh-tokoh Jepang. Sekembalinya ke Indonesia hubungan dengan
orang-orang Jepang yang membuka toko di Bandung, Jogja dan Solo pun semakin
intens dilakukan.
Kegiatan Gatot yang sering keluar masuk toko milik orang Jepang ini
mendapatkan pengawasan dari aparat pemerintah. Karena merasa tidak nyaman,
akhirnya Gatot memutuskan untuk pindah ke Cianjur. Di sama ia mendirikan Rumah
Obat Kruidenhandel De Erden Dr. Saleh yang sukses membuka cabang dimana-mana.
Tak disangka hubungan
baik yang dijalin Gatot dengan orang-orang Jepang akan sangat berpengaruh pada
hidupnya di masa penjajahan Jepang. Ia menjadi orang kepercayaan aparat
pemerintah militer Jepang, terbukti dari pengangkatannya sebagai ketua “Gerakan
3 A” di Cianjur. Di saat yang sama Soekarno telah aktif di Putera (Pusat Tenaga
Rakyat), yang diakui Gatot kurang mendapat sambutan baik dari pemerintah
militer jepang sehingga Gatot menyerukan agar kawan-kawannya di Sukabumi tidak
melibatkan diri dalam gerakan tersebut. Akibatnya di Karasidenan Bogor tidak
ada Putera.
Pada tahun 1943 surat kabar Tjahaja di Bandung memuat berita kunjungan Rd.
Soetarjo Kartohadikoesoemo ke Jepang untuk mengajurkan pemerintah Jepang
membentukmilisiplicht (wajib militer) di Indonesia. Gatot
menyesalkan usulan tersebut karena PNI pernah menentang konsep yang sama di
zaman kolonial.
Gatot merasa resah atas wacana itu karena pelaksanaan wajib militer berarti
penderitaan lebih lanjut bagi penduduk Indonesia. Kebijakan itu malah
memperkuat kedudukan penjajah dan bisa dikirimkan ke luar negeri. Gatot
menyetujui keharusan persiapan kekuatan militer di kalangan masyarakat
Indonesia tetapi ia tidak menyetujui bentuk wajib militer. Sehingga sehari
setelah berita wacana wajib militer dimuat, Gatot segera mengirimkan surat ke
redaksi Tjahaja yang isinya :
Setelah tulisan itu
dimuat, Gatot langsung diiterogasi Kempeitai (dinas rahasia Jepang) atas
tuduhan anti-Nippon. Gatot langsung menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak
anti-nippon, ia juga menginginkan barisan sukarela karena kalau sukarela, tentu
orang-orang mau atau berani menjadi anggota sebab sekarang musim perang.
Pengalaman terdahulu membuktikan bahwa wajib militer yang dilakukan pemerintah
Hindia Belanda tidak berhasil menghasilkan prajurit bermoral tinggi sehingga
mereka kocar-kacir di medan perang.
Beberapa hari kemudian
Gatot dibawa ke kantor Bepang di Batavia yang tingkatannya lebih tinggi dari
Kempeitai. Di sana ia disuruh membuat surat permohonan pembentukan Barisan
Sukarela. Saat itulah peristiwa “tinta darah” Gatot Mangkoepradja
terjadi.
Atas dukungan beberapa pihak, atas usulan tersebut terbentuklah Barisan
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Seruan-seruan untuk bergabung di dalamnya
segera dimuat di surat kabar dan mendapatkan banyak sambutan. Dalam waktu
singkat sarana-sarana pelatihan kader tentara sukarela pun dibangun di
mana-mana. Pelatihan pasukan ini dipusatkan di kompleks militer Bogor yang
diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu
Resentai. Nama “PETA” untuk barisan ini sendiri baru
muncul tahun 1944 atas inisiatif Oto Iskandar Dinata dan Jusuf Jahja. Selain
terlibat dalam pembentukan PETA, Gatot juga terlibat dalam pendirian Barisan
Pelopor dan Hizbullah. Ia menolak tuduhan sebagai kolabolator atas semua
aksinya itu.
Pasca kemerdekaan,
Gatot yang menjadi pimpinan BKR ditahan oleh sekutu di Pulau Onrust atas
tuduhan kejahatan perang dan kolaborator perang. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun.
Ia baru dibebaskan setelah diadakannya perjanjian Linggarjati. Setelah itu
Gatot langsung melibatkan diri dalam PNI yang dahulu didirikannya.
Orientasi PNI yang
dianggapnya terlalu “Jawa Sentris” memaksanya untuk keluar dan membentuk partai
baru bernama Partindo tahun 1958. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi anggota
MPRS di Gedung Merdeka Bandung. Ia hanya bertahan selama empat tahun karena
adanya peremajaan. Ketika itu ia sudah jatuh miskin dan sakit-sakitan. Pada
tanggal 28 September 1968 Gatot mengajukan surat permohonan untuk mendapat
pengakuan sebagai veteran dari pemerintah dan Gubernur Jawa Barat Mayjen.
Mashudi. Hanya saja tidak jelas kelanjutannya karena ia keburu meninggal
pada tanggal 4 Oktober 1968. Yang pasti, Gatot Mangkoepradja tidak dimakamkan
di makam pahlawan, melainkan di pemakaman sipil bersama rakyat yang telah
diperjuangkannya.
0 komentar:
Posting Komentar