Rabu, 02 April 2014



Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam.
Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.



Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong –bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.



Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.



Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.
Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.



Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,



Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.



Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.



Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.



Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.



Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.



Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun “tovavako”. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.



Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.



Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.



Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; “Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo”.



Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.



Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.



Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.



Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.



Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.



Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.



Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.



Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.



Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.



Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).



Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.



Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, daá dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada “to panambe” , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut “panambe”, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.



Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.



To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.



Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.



Hal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.



Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Daá dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek “Tado Mbei” , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.



To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini.


(sumber: kailingataku.wordpress.com)

0 komentar:

Posting Komentar